Hidup di Mulai dari Mimpi
(Ini merupakan sebuah kisah nyata, perjalanan seorang gadis yang berambisi dan memiliki cita-cita yang tinggi dalam segala kekurangannya)
Aku hanya bisa terdiam, meringis ketakutan saat melihat seorang lelaki gagah berbadan besar sedang berapi-api di depanku. Ayahku, beliau begitu kecewa padaku karena sampai aku berumur 7 tahun aku belum juga bisa membaca. Kehidupan dikampung yang sangat jauh dari peradaban kota, dengan kehidupan yang sederhana memaksaku untuk hidup dalam kesederhanaan tanpa mengenal taman kanak-kanak. Ketika umurku menginjak 6 tahun, orang tuaku mengantarkanku mendaftar di Sekolah Dasar. Semuanya terasa begitu aneh, rasanya aku ingin sekali menangis karena tidak bisa mengikuti pelajaran seperti teman-temanku. Kekurangan dalam menulis dan membaca membuatku begitu sering diejek oleh teman-temanku. Ayahku nampak sangat kecewa. Beliau begitu keras kepadaku, bahkan beliau tidak segan-segan untuk menendangku ketika aku tidak bisa menjadi apa yang beliau inginkan. Hukuman pun datang, begadang semalam untuk menulis kalimat “Saya Anak Bodoh” dengan tulisan tegak berjalan sebanyak 5 lembar buku A5. Ini bukan hal yang mudah untuk anak berumur 7 tahun seperti aku. Tangisanku hanya bisa aku tahan dan tetap berusaha mengerjakan tulisan itu dengan penuh semangat. Sampai akhirnya progressku meningkat, sebuah buku cerita yang berjudul “Cut Nyak Mutia”, membawa hidupku pada kecerahan. Buku pemberian ayahku itu membuatku lancar membaca dan dari sinilah kehidupanku bermula.
Kebodohan itu berakhir dan progressku pun meningkat. Kelas 3 SD aku mulai menduduki peringkat keempat di kelas, kelas 4 aku mulai mendaki dan berada di peringkat ketiga. Tidak berakhir sampai disana, mulai dari kelas 4 berbagai perlombaan aku juarai dari mulai membaca puisi sampai anak teladan di kelas 5. Sampai akhirnya kelas 5 aku ada di peringkat kedua dan kelas 6 aku menjadi lulusan terbaik dengan Nilai akhir terbaik. Tentu saja ayahku sangat bangga dengan semua itu.
Aku pun menginjak ke bangku SMP pada tahun 2004, gelar juara umum pun aku dapatkan, berbagai kejuaraan dalam lomba IPA dan pidato aku raih. Sungguh progress yang menyenangkan. Melihat kemampuanku yang semakin meningkat, pamanku seorang mahasiswa Teknik Elektro ITB 2001 yang saat itu sedang menginjak tingkat ketiga di ITB begitu menginginkan aku untuk melanjutkan kuliah di ITB suatu saat nanti. Mulai dari kelas 1 SMP itu aku mulai diyakinkan oleh ayah dan pamanku bahwa ITB lah pilihan kuliah terbaik di Indonesia dan mulai saat itupun aku mulai berpikir untuk kuliah di tempat yang hebat itu. Perjuanganku tidak berakhir sampai disini, semuanya tidak berjalan mulus. Pada tanggal 11 Desember 2005, saat aku akan menginjak semester kedua di kelas 2, suatu malapetaka datang. Penyemangatku, orang selalu bisa membangkitkan gairah belajarku, ayahku, meninggal secara tiba-tiba karena terkena serangan jantung. Aku tidak terima, aku ingin berontak karena ini tak adil menurutku. Namun, semuanya telah terjadi dan inilah kenyataannya, ayahku pergi meninggalkan aku dan 4 orang adikku saat usiaku baru saja menginjak 14 tahun. Aku patah arang, rasanya tak ada lagi ITB, tak ada lagi masa depan. Aku hampir saja menyerah. Beruntungnya aku karena seorang malaikat datang dan membawa secercah kecerahan dalam hidupku. Pamanku datang dan berjanji akan mengurus semua pendidikanku sampai aku mendapatkan apa yang aku mau dan Ayahku cita-citakan untukku.
Masa SMP itu berlalu, 2007 mengantarkan aku ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, SMA. Aku diterima di sebuah SMA yang sangat jauh dari rumahku, SMA itu ada di sebuah kota yang berjarak tempuh sekitar dua jam dari pusat ibu kota di provinsiku, namun rumahku masih berjarak tempuh 2 jam lagi dari kota itu. Jadi, kalau di akumulasikan, tempat tinggalku berjarak tempuh sekitar 4 jam dari pusat ibukota di provinsiku. Sungguh sangat dipedalaman. Pertimbangan jarak yang jauh dan biaya transportasi yang tinggi memutuskan aku untuk mencari rumah kos-kosan. Seperti biasa, semuanya bermula dari kegagalan, semester satu yang sangat suram tidak mengantarkanku pada gelar juara kelas, namun dengan hidupku yang berambisi dan pantang menyerah aku berhasil menaklukkan semua rintangan sampai akhirnya semester 5, gelar juara umum jatuh ke tanganku. Ibuku sangat bahagia, teman-teman dan keluargaku juga sangat bangga kepadaku karena prestasi yang aku ukir di zaman SMA itu. Orang-orang bangga, orang-orang terpesona, namun aku tidak. Aku masih begitu sedih, begitu galau karena aku belum tau, apa yang harus aku lakukan agar aku bisa menepati janjiku pada ayahku. Aku masih belum tau apakah aku bisa mendapatkan apa yang dulu beliau inginkan, ITB. Sampai akhirnya, semangatku tumbuh tiada lain karena mendengar nasihat dan wejangan dari orang-orang tersayangku.
Aku bersemangat, aku belajar dan terus belajar untuk mengikuti USM ITB. Namun, ketika hampir semua dokumenku telah siap, ketika otakku sudah matang, pamanku menelponku dan menanyakan apakah aku sanggup ke Bandung sendiri? Ketika itu aku sangat yakin bahwa aku sanggup dan aku berani, namun ketika pamanku berkata, “25 juta untuk uang awal? Kamu yakin? “. Aku mengerti apa maksudnya dan spontan setelah itu niatku berubah untuk tidak mengikuti USM dan aku berpindah haluan ke SNMPTN. Aku mulai mengulang belajar soal-soal SNMPTN, bimbingan belajar, try out online, psikotes semuanya aku pelajari dengan sangat serius bahkan tak segan-segan berat badanku turun hampir 7 kg menjelang SNMPTN tersebut. Sampai hari SNMPTN pun tiba, hari pertama aku lalui dengan kurang beruntung karena sepulang dari tes SNMPTN, aku mengalami kecelakaan, namun itu bukan halangan. Aku tidak menyerah, kecelakaan itu bukan halangan untukku mengikuti SNMPTN hari kedua. SNMPTN berakhir dan selanjutnya yang bisa aku lakukan hanyalah menunggu, menunggu jawaban dari semua usahaku.
Di rumahku, pada tanggal 16 Juli 2010, dengan penuh rasa penasaran aku buka website SNMPTN, aku masukkan nomor pendaftaranku dan STEI ITB berhasil aku taklukan. “Suksma Hyang Widhi, Suksma Bapak”, kalimat pertama yang aku ucapkan. Sungguh rasa syukur yang sangat mendalam yang tidak bisa aku tuangkan dalam tulisan ini. Selanjutnya, aku siap ke Bandung dengan restu dari semua keluarga.
Dan Bandung, Sabuga mempertemukanku dengan seseorang yang kini menjadi sahabat terbaikku di ITB. Dia adalah seorang peraih beasiswa yang memberikan tanggungan biaya hidup dan biaya kuliah selama 4 tahun di kampus ini. Tentu aku saat itu sangat tertarik untuk mendengarkan ceritanya, akupun mulai mengkhayal seandainya aku juga bisa mendapat beasiswa seperti itu, pasti aku tidak usah merepotkan pamanku lagi. Hmm..aku hanya menyimpan angan-angan dan rasa ‘iri’ ku pada teman baruku itu. Keesokan harinya, handphonelu berdering dan berita ini sangat mengejutkan, orang dari bagian kemahasiswaan ITB menelponku dan menyatakan bahwa aku terdaftar sebagai penerima beasiswa yang akan menanggung hidup dan kuliahku selama 4 tahun di bumi ganesha ini. “Suksma Hyang Widhi”, hanya itu yang bisa aku ucapkan. Terima kasih, terima kasih Tuhan.
Namun, di awal semester di ITB aku kembali merasa gagal. Semester pertama TPB ku tidak membuahkan hasil yang aku inginkan. Hasil yang aku raih tidak memuaskanku, namun aku tak pernah menyerah, aku selalu berusaha memperbaiki kegagalanku karena kesalahan di masa lalu adalah bekal untuk masa depan yang lebih baik. Sekarang aku ada di ITB, di sebuah jurusan yang begitu aku inginkan dari dulu dan masih mengejar mimpi-mimpi lainnya. Bermimpi dan wujudkanlah!
“Pains makes you stronger
Tears makes you braver
Heartbreak makes you wiser
So thank the past for a better future”
Ni Wayan Dessy Eka Rahayu
Teknik Telekomunikasi ITB 2010
0 komentar:
Posting Komentar